Anak-anak terus bertumbuh besar. Bisa jadi baju yang baru saja
dibelikan oleh orang tuanya, tak lama kemudian tampak kekecilan di
badan. Orang tua pun merogoh kocek lagi untuk membelikan baju baru untuk
sang buah hati.
Sebelum membelikan pakaian untuk anak-anak, ada baiknya orang tua
mencermati kualitasnya. Sebab ternyata belum semua produk pakaian
anak-anak di Indonesia memiliki kualitas yang memenuhi standar.
Kementerian Perindustrian menyebutkan bahwa masih banyak produsen
pakaian anak yang belum memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI).
Gati menyebutkan, sejak 2011, berpuluh-puluh IKM pakaian anak telah
melakukan sertifikasi produk agar memenuhi standar SNI baik dari segi
kualitas, kesehatan, maupun keamanan. Tercatat, baru ada 155 IKM pakaian
anak terstandar SNI hingga 2016.
Pakaian anak menjadi penting untuk diperhatikan kualitasnya. Karena
dalam standar SNI, tercantum kadar anjuran komposisi kimia pada produk
pakaian anak agar aman digunakan.
Pemerintah sendiri sudah mewajibkan pakaian anak untuk mengikuti
sertifikasi SNI, melalui Keputusan Menteri Perindustrian Nomor
97/M-IND/PER/11/2015 tentang Perubahan Peraturan Menteri Perindustrian
No. 7/M-IND/PER/2/2014 tentang Pemberlakuan SNI Wajib Produk Pakaian
Bayi.
SNI mencantumkan bahwa pakaian bayi dan anak perlu untuk diberikan
standar khusus guna melindungi anak dari bahan berbahaya yang terkandung
pada kain pakaian. Bukan hanya pakaian bayi, namun SNI juga mewajibkan
pemenuhan standar untuk mainan anak, helm, cokelat bubuk, terigu, garam
beryodium, dan kopi.
Gati menjelaskan, dengan semakin terbukanya barang impor dan murah,
maka secara tidak langsung dapat membahayakan konsumen ataupun produsen.
Menurut Gati, keberadaan SNI dapat ‘mengamankan diri’ dari serbuan
barang impor yang mungkin belum memenuhi standar.
“Kalau barang sudah ada SNI,” kata Gati, “maka ada jaminan sudah
pasti aman dari segi kesehatan, keamanan, hingga kelestarian lingkungan
hidup.”
Masih banyaknya IKM yang belum mengikuti sertifikasi, diakui Gati,
lantaran biaya menjalani proses evaluasi tersebut tergolong mahal.
Beberapa upaya dilakukan untuk membantu IKM melalukan sertifikasi dengan
gratis, namun tidak dapat dilakukan secara masif.
Selain itu, kendala kedua yang dialami adalah singkatnya masa berlaku
sertifikasi yaitu enam bulan. Hal ini menyebabkan IKM perlu untuk
kembali mengajukan proses sertifikasi ke lembaga yang ditunjuk.
Gati mengusulkan untuk pemberlakuan wajib SNI untuk bahan baku,
sehingga ketika IKM melakukan produksi pakaian akan langsung memiliki
standar yang ditetapkan.
“Namun ada hal lain yang tak bisa dipungkiri, yaitu proses. Ide ini
memang masih dalam tataran lobi. Dan kalaupun masa berlaku sertifikat
diperlama, jangan sampai ini jadi peluang semakin masuknya barang
impor,” kata Gati.
Di sisi lain, Sucofindo selaku lembaga pemberi sertifikasi mengatakan
bahwa dari segi kualitas, produk buatan dalam negeri tidak kalah
dibandingkan luar negeri. Namun, yang terkendala adalah dari segi
promosi.
“SNI ini penting untuk melindungi konsumen dengan cara penerapan
produk sesuai standar. Dan IKM masih perlu banyak dibantu,” kata Bachder
Djohan Buddin, direktur utama Sucofindo, saat ditemui dalam kesempatan
yang sama.
“Namun pemerintah juga mesti konsisten menerapkan SNI,” kata Bachder.
“Masyarakat juga perlu mengubah pola pikir, yaitu menggunakan produk
dalam negeri.